VISI KEBANGKITAN PERADABAN


Saya akan berbagi pengalaman sebagai ajudan Presiden di tahun 1990, pada saat ICMI didirikan. Ada sedikit kekhawatiran di pihak Angkatan Darat dengan pendirian ICMI. Seperti diketahui saat itu, kita masih mengenal, dan mewaspadai apa yang disebut dengan bahaya latent dari Eka (ekstrim kanan) dan Eki (ekstrim kiri). Sehubungan dengan pendirian ICMI, tentu saja wajar kalau Pimpinan TNI-AD bertanya-tanya, mengapa Presiden justru merestui berdirinya ormas Islam yang menampung tokoh-tokoh Islam, yang saat itu dianggap cukup keras?  Kasad meminta saya untuk menanyakan langsung kepada Presiden.

Pada saat yang tepat, saya  bertanya kepada Presiden Soeharto tentang masalah itu.  Beliau memberikan penjelasan,  mengapa pendirian ICMI perlu didukung. Pertama,  membangun Indonesia tidak terlepas dari membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang sebagian besar beragama Islam. Kedua, dari yang beragama Islam itu kebanyakan Islam tradisional, yang tidak mengenyam pendidikan yang cukup memadai. Masyarakat seperti ini biasanya sangat rentan terhadap pengaruh dari luar yang akan sangat merugikan proses pembangunan nasional yang sedang berlangsung. Ketiga, Oleh karena itu Presiden merestui para cendekiawan Muslim untuk bersatu dalam satu wadah, yang akan membentengi pengaruh negatif, sekaligus mencerdaskan kehidupan umat Islam di Indonesia.  Sampaikan kepada Jenderal Edy, agar tidak perlu kawatir.   Kemudian saya  kembali menghadap Kasad dan saya sampaikan penjelasan Presiden tersebut, dan ternyata dapat difahami oleh pihak TNI-AD.  Tidak berhenti di situ saja, dengan pemahaman yang saya peroleh tersebut, pada saat saya bertemu dengan Pak Habibie di Masjid Istiqlal, saya sampaikan niat saya untuk masuk ICMI, bilamana saya sudah pensiun.  Dan alhamdulillah,  niat saya itu benar-benar terkabul, sehingga setelah saya pensiun di tahun 2000 sampai sekarang, saya menjadi bagian dari Dewan Penasehat ICMI, dan mungkin saja seumur hidup.
      
Peradaban atau civilization, yang tidak sama dengan kebudayaan atau culture. Culture bentuk ungkapan semangat mendalam suatu masyarakat, mencirikan apa yang dirindukan oleh manusia, yang terefleksi pada seni, moral dan religi. Civilization dimaknai sebagai manifestasi kemajuan teknologi, mencirikan apa yang digunakan oleh manusia, yang terefleksi pada politik, ekonomi dan teknologi.
     
Dengan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa dialog Kasad dengan Presiden lewat saya sebagai mediator, merupakan dialog tentang peradaban. Sebab obyeknya adalah mengamankan proses membangun peradaban Indonesia yang saat itu sedang berlangsung.  Kebesaran budaya nusantara, yang ditopang pemerintahan dan ekonomi yang waktu itu dianggap cukup kuat, harus dilengkapi dengan kemajuan Iptek yang dimanifestasikan dalam bentuk industri strategis. Pengaruh negatif yang akan menggangu proses membangun peradaban baru harus ditangkal, agar peradaban yang dicita-citakan dapat segera terwujud.  Dan ICMI adalah bagian terpenting dari proses membangun dan mengamankan peradaban tersebut.
     
Selanjutnya dalam periode akhir abad ke 20, dunia menghadapi krisis moneter yang meluluhlantakkan Negara yang belum kuat fondasi perekonomiannya. Indonesia adalah satu dari banyak Negara yang terhempas oleh kelombang tsunami krisis tersebut. Krisis tersebut telah memporak porandakan perekonomian nasional yang berimbas hancurnya bangunan peradaban yang tengah disusun saat itu. Pada wilayah idiologi, politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi  mengalami kemandegan dan kerusakan yang sangat parah. Proses membangun Peradaban Indonesia di masa orde baru boleh dikatakan tamat.  
     
Kita masih beruntung, dalam keadaan seperti itu, Presiden Habibie tampil sebagai pemimpin sebagi baru Indonesia.  Sebagai salah satu arsitek peradaban di masa Ordebaru, tidak terlalu sulit untuk menyusun kembali rancang bangun peradaban Indonesia. Meminjam perumpamaan Beliau, bahwa Indonesia saat itu ibarat pesawat terbang yang sedang mengalami goncangan (stall), dalam waktu singkat harus distabilkan kembali, untuk kemudian diarahkan lurus menuju tujuan semula.  Namun sayang sekali, rencana yang sangat luar biasa tersebut baru dimulai, Beliau harus mundur dari  kepemimpinan nasional, melalui proses politik yang masih belum stabil.
       
Hasil pemilu 1999, menempatkan K.H. Abadurrahman Wahid sebagai Presiden. Masalah kebangsaan yang sangat rumit dan kompleks, beralih di pundak Presiden Abdurrahman Wahid.  Untuk mengetahui apa yang dirasakan Presiden, saya mengutip gurauan beliau, pada saat ditanya apa perbedaan kepemimpinannya, dibandingkan para pendahulunya. Jawabannya :
               Kalau Presiden Soekarno itu kan membangun Old Order (tatanan lama). Presiden Soeharto membangun New Order (tatananbaru), Presiden Habibie membuat Out Of Order (keluar dari tatanan). Lha kalau saya menciptakan No Order (ketiadaan tatanan)”
     
Walaupun itu guyonan, namun saya yakin bahwa apa yang disampaikan Presiden benar-benar merefleksikan keadaan saat itu, karena saya berada di sana. Keadaan saat itu,saya ibaratkan masa yang turun kejalan, meluapkan kegembiraan tatkala kesebelasan sepakbola idola mereka menang dalam pertandingan. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin Polisi dapat menertibkan aturan berlalulintas. Untuk menertibkan masa yang sedang lupadiri meluapkan kegembiraan adalah kemustahilan. Identik dengan hal itu, Euphoria reformasi telah menempatkan kebebasan menjadi ikon baru. Demonstrasi kebebasan yang meluas telah mendorong bangsa kita terjebak pada ketiadaan tatanan. Dalam kondisi seperti itu, mana mungkin reformasi peradaban dilakukan. Di tengah ketidak jelasan tersebut upaya Presiden untuk  membangun tatanan peradaban lewat Dekrit Presiden gagal.
     
Pada periode berikutnya, ketiadaan tatanan tersebut terus berlanjut. Pemerintah lebih disibukkan oleh urusan politik dan masalah ekonomi nasional, ketimbang merumuskan kebangkitan Indonesia.   Pada saat “ no order “ masih berlanjut, Indonesia dibanjiri  peradaban dari luar, yang menembus batas-batas territorial, didukung oleh kemajuan tehnologi komunikasi yang luarbiasa cepatnya, yang akibatnya sangat fatal.  Fondasi peradaban yang masih tersisa terpinggirkan.  Kondisi itu digambarkan oleh  teman saya, seorang Profesor guru besar dari AS, tatkala ditanya oleh mahasiswanya tentang Indonesia, Ia memjawab; They don’t know, who they are. Kita memang sedang tak tahu lagi diri kita ini siapa? Kita dilecehkan dan dihina bangsa lain,  tak bisa apa-apa.  Korupsi dimana-mana sudah tak ada malunya. Berkelahi antar warga sudah biasa.  Apakah itu semua bagian dari peradaban kita ? pasti bukan! Bukan seperti itu peradaban kita! Kalau kita jujur sebenarnya Indonesia  bagaikan Orkes Simfoni yang sedang kehilangan Konduktor, kehilangan harmoni, tidak ada keterpaduan, tidak ada keserasian, tidak sinkron satu sama lain. Masing-masing alat musik melantunkan lagu kebebasan dengan nada dan irama yang berbeda.
        
Sekarang mari kita bayangkan, kalau keadaan ini terus berlanjut apa yang terjadi terhadap negeri ini? Kita akan dilahap oleh ganasnya kebebasan dan kealpaan yang akan mengeliminasi peradaban Indonesia dari muka bumi. Suatu saat kita hanya tinggal melakukan hitungan mundur, untuk menunggu saat-saat yang buruk itu terjadi. Itu tidak boleh terjadi, tidak ada kata terlambat, masih ada kesempatan bagi kita untuk melakukan perubahan besar-besaran membangun kembali peradaban kita yang berserakan itu. Memang dalam kondisi sekarang ini, membangkitkan kembali peradaban bangsa bukan perkara mudah, namun bukan tidak mungkin kalau kita lakukan bersama seluruh bangsa. Pertanyaannya adalah darimana kita mulai? apa yang harus dilakukan? Bagaimana caranya? 
 
Dalam pertimbangan saya, hal-hal yang sangat mendasar yang harus dilakukan adalah: Pertama, meluruskan kembali jalan demokrasi kita; Kedua, menata perekonomian nasional; Ketiga, menempatkan kembali penegakan hukum sebagai kesepakatan kolektif bangsa yang harus dihormati dan ditaati; Keempat,  kebutuhan kepemimpinan yang kuat; dan yang kelima, mendayagunakan kekuatan Hati Nurani.  

Kita semua tahu bahwa revolusi adalah perubahan secara total dan cepat, dan biasanya inkonstitusional. Hal itu tidak mungkin kita lakukan, resikonya terlalu berat bagi bangsa , pasca revolusi bangsa ini tidak akan mampu untuk melakukan konsolidasi lagi. Cara evolusi, jelas akan memerlukan waktu yang sangat panjang, kita akan dilindas oleh perubahan dunia yang sangat dinamis. Cara Reformasi yang telah kita lakukan selama 14 tahun, walaupun telah menghadirkan kemajuan, ternyata banyak membawa kemudaratan. Kita masih terjebak pada ketiadaan tatanan, ketidak jelasan tujuan, kerancuan sistim, kehilangan kompas kebenaran.  Lalu apa pilihan kita? 
      
Yang pasti kita tidak bisa tinggal diam dan menunggu, kita harus melakukan perombakan, pembaruan, penggantian dengan cara yang cepat, namun tetap dalam koridor konstitusi.  Dalam hal ini, kita harus segera keluar dari Comfort Zone, yakni zona kemapanan semu yang membuat kita terlena. Kita secepatnya harus masuk ke Crack Zone, suatu zona baru yang merupakan bagian awal dari kebangkitan peradaban Indonesia. Perubahan itu dilakukan secara total, tidak lazim, namun masih menghormati  konstitusi, hukum dan budaya kita.  Untuk itulah kita butuh pemimpin yang kuat, yang orientasinya hanya satu, yaitu “ perubahan” dengan cara Creative Destruction.  Ia  harus seorang Cracker, pendobrak yang  penuh perhitungan, karena memiliki pengalaman dan pengetahuan, Ia dipercaya karena memiliki track record yang bersih, Ia bijak karena berkiblat kepada Yang Mahakuasa.
     
ICMI didirikan bukan tanpa tujuan. ICMI adalah wadah para cendekiawan Muslim yang sekaligus tempat berhimpunnya para architek peradaban.  Pada keadaan seperti sekarang ini sudah selayaknya ICMI tampil sebagai penggagas, sekaligus penggerak kebangkitan peradaban. Dengan netralitas dan tersebarnya jaringan ICMI di seluruh nusantara, saya yakin ICMI akan mengukir sejarah Kebangkitan Nasional ke-2. Pada akhirnya semuanya tergantung kepada tekad dan semangat kita sebagai bangsa dan ridho Allah yang Mahakuasa. 

*Disampaikan pada acara Silaknas ICMI 2012 Jakarta, 19 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar