"Prajurit itu tak pernah mati dalam perjuangan. Perjuangan itu mati
kalau dia sudah mati nanti. Saya ini masih hidup, sehat, dan tahu
masalah yang menimpa negeri ini. Apa salahnya kemudian dari partai saya
ingin tetap mengajukan saya sebagai capres. YANG MENENTUKAN NANTI ADALAH RAKYAT DAN TUHAN,"
Siapa yang harus bertanggung jawab soal kerusuhan Mei 1998 Pak?? Anda, Syafrie Samsuddin, Hamami Nata,Dibyo Widodo, Timur Pradopo, Sutiyoso, Prabowo....semoga anda semua tidak diterkam setan waktu mati nanti....Nyawa dan darah para korban kerusuhan dan perkosaan akan meminta pertanggungjawaban.......Kok malah berani2nya Nyapres.......istigfar paaak.......
BalasHapusIndonesia adalah negara hukum. Setiap warga negara berkedudukan sama di depan hukum, tak terkecuali Wiranto. Jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, sebaiknya mengambil langkah-langkah yang benar dan rasional sesuai jalur yang tersedia. Menebar amarah, kebencian, dan fitnah di ruang publik, tidak akan menyelesaikan masalah.
BalasHapusBeberapa pengalaman masa tugas Wiranto tersaji dalam buku yang berjudul "Bersaksi Di Tengah Badai", terutama seputar kejadian pada masa transisi pemerintahan orde baru ke orde reformasi.
Pencalonan Presiden bagi Wiranto adalah panggilan untuk mengabdi kepada negara dan bangsa. Bangsa ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang bisa kerja keras, kerja cerdas, dan kerja tuntas. Indonesia butuh pemecah masalah, bukan para penebar benih-benih kebencian dan perpecahan yang hanya bertujuan menghasut rakyat.
".....Tanggal 14 Mei 1998 malam, Wiranto memberikan arahan terhadap para Panglima dan Komandan lapangan, antara lain;
BalasHapus1. Segera atasi keadaan, berlomba dengan eskalasi kerusuhan, penjarahan, dan perusakan. Temukan taktik-takik dan teknik-teknik yang tepat untuk mengatasi pola perusuh.
2. Gelar pasukan yang mencukupi di seluruh daerah, prioritas pada pusat-pusat perbelanjaan. Siapkan cadangan mobil yang cukup pada beberapa titik untuk segera dapat hadir pada titik-titik kerusuhan dengan menggunakan helikopter, mobil, atau berlari.
3. Pola mengatasi perusuh harus dilakukan dengan tindakan tegas, lakukan shock terapi, bedakan dengan mengatasi unjuk rasa biasa.
4. Untuk Satuan Setingkat Kompi (SSK) Polisi dilibatkan pada daerah-daerah penjarahan dengan tetap dibantu SSK TNI. Gunakan panser dengan memanfaatkan daya gerak dan daya kejutnya semaksimal mungkin.
5. Aktifkan potensi masyarakat untuk melakukan sistim pengamanan lingkungan (SISKAMLING) di lingkungan masing-masing baik di daerah pemukiman, industri, maupun perkantoran dengan dibantu aparat keamanan dari TNI.
Dalam waktu yang cukup cepat, akhirnya keadaan dapat dikuasi dan eskalasi kerusuhan dapat dihentikan. Mulai tanggal 15 Mei 1998, situasi ibukota pun berangsur-angsur dapat dipulihkan....."
"...Dalam UU. No. 26 tahun 2000 pasal 42 yang disebut "By Omission" atau PEMBIARAN adalah seorang Komandan militer aau seseorang yang efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dinyatakan bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif apabila tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut dalam hal;
1. Komandan tersebut mengetahui dan seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan dan baru saja melakukan pelanggaran HAM berat (pembunuhan, penyiksaan, pemusnahan, dan sebagainya)
2.Komandan tersebut TIDAK melakukan tindakan pencegahan atau menghentikan perbuatan itu atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang.
Sangat jelas, peristiwa Mei 1998 adalah peristiwa yang tidak dirancang. Peristiwa itu merupakan kehendak sejarah, titik kulminasi dari berbagai permasalahan bangsa.
Pelakunya jelas bukan dari militer, mereka adalah para penjarah, penodong, dan perampok yang memanfaatkan demonstrasi politik yang seharusnya dilakukan secara santun dan tertib. Korban yang meninggal kebanyakan terdiri dari para penjarah yang mengalami kecelakaan saat menjalankan aksinya.
Peristiwa semacam ini telah terjadi di berbagai negara. Namun tidak ada diantara mereka yang memasukkannya kedalam wilayah pelanggaran HAM berat, karena memang bukan.
Oleh karena itu, segala upaya untuk memasukkan kasus seperti itu sebagai pelanggaran HAM berat, pastilah akan menimbulkan pro dan kontra yang berkepanjangan karena lebih sarat dengan NILAI POLITIKNYA ketimbang KAIDAH HUKUMNYA...."
dikutip dari buku "BERSAKSI DI TENGAH BADAI, dari catatan Wiranto
Pencapresan Wiranto untuk 2014, bukanlah suatu yang dipaksakan karena Survey LKP (Lembaga Klimatologi Politik) yang menempatan Wiranto dengan Elektabilitas tertinggi kedua (15.4% ) menjadi bukti bahwa beliau cukup mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
BalasHapusSumber: http://nasional.kompas.com/read/2013/04/28/12375389/Survei.LKP.Prabowo.dan.Wiranto.Capres.Paling.Diminati
Survey tsb juga mengungkap bahwa figur militer masih dianggap penting (40.5%) untuk memimpin bangsa yang multi etnis, bahasa, budaya, agama, dsb.
Buat saya pribadi, figur Wiranto bisa menjadi jaminan ketentraman demi terciptanya stabilitas negara untuk membangun dengan lebih giat. Hal itu ditunjang dengan penguasaan teritori yang sangat mumpuni sebagai mantan Pangab.
Bukan apa-apa, ini masalah Indonesia yang sangat beragam dengan kondisi masyarakat yang sebagian besar (>80%) justru lebih suka tenang dan aman dibandingkan hiruk pikuk demokrasi yang hanya dinikmati segelintir orang.
Pengalaman menunjukkan bahwa bangsa yang membangun dengan tenang, justru menunjukkan pertumbuhan yang lebih pesat karena itu mencerminkan kondisi masyarakat secara umum yang memang lebih butuh aman karena masih sibuk urusan perut.
Maju terus Pak Wiranto, Anda punya basis massa yang kuat dan akan terus membesar bilamana program-program bpk bisa menyentuh salah satu aspek saja dari kelompok terbesar masyarakat Indonesia yang masih berkutat di masalah-masalah mendasar.